Sejak pertama kali dianugerahkan pada tahun 1901, Nobel Sastra telah menjadi penghargaan yang melambungkan nama para penulis ke jajaran elite dunia literatur. Namun, lebih dari seabad berlangsung, satu pola terus berulang: dominasi laki-laki sebagai penerima penghargaan ini. Apakah ini semata-mata soal kualitas, atau ada faktor lain yang bekerja di balik layar?
Hingga tahun 2024, Nobel Sastra telah diberikan sebanyak 121 kali kepada 117 individu. Dari jumlah itu, hanya 18 perempuan yang berhasil mendapatkannya. Rasio ini mengindikasikan bahwa perempuan masih menjadi minoritas di dalam sejarah penghargaan tersebut. Lebih jauh lagi, jika kita mempersempit lingkupnya ke penyair, kesenjangan itu semakin kentara. Hanya empat nama penyair wanita yang berada dalam daftar, yaitu Gabriela Mistral, Nelly Sachs, Wisława Szymborska, dan Louise Glück.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa ini terjadi karena memang lebih banyak penulis laki-laki dengan karya-karya yang dianggap monumental. Namun, sejarah tidak bekerja dalam ruang hampa. Dominasi ini tidak hanya mencerminkan kualitas sastra, tetapi juga peta kekuasaan dalam dunia literatur.
Penting untuk melihat bagaimana sastra berkembang dari waktu ke waktu. Pada awal abad ke-20, akses perempuan ke pendidikan dan dunia akademik masih terbatas. Banyak yang bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menerbitkan karya, apalagi diakui dalam lingkup yang lebih luas. Sementara itu, para penulis laki-laki memiliki jaringan yang lebih mapan, lebih mudah mendapat eksposur, dan lebih sering didukung oleh lembaga sastra yang berpengaruh.
Namun, faktor historis saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa dominasi ini masih bertahan hingga sekarang. Bagaimana dengan kriteria seleksi itu sendiri? Apakah ada pola tertentu dalam pemilihan penerima Nobel Sastra? Jika kita melihat daftar pemenang dari waktu ke waktu, tampak bahwa Akademi Swedia cenderung menghargai karya yang sarat dengan tema-tema besar seperti politik, kemanusiaan, dan sejarah. Tema-tema yang selama ini lebih banyak dieksplorasi oleh penulis laki-laki, setidaknya dalam perspektif yang mereka bangun.
Di sisi lain, banyak penulis perempuan yang lebih sering menulis tentang pengalaman pribadi, refleksi kehidupan, atau dinamika emosional yang subtil. Apakah ini berarti karya mereka lebih inferior? Tentu tidak. Namun, standar penilaian sastra yang selama ini berkembang mungkin tidak selalu memberi tempat yang setara bagi jenis pengalaman yang berbeda ini.
Faktor lain yang juga perlu diperhitungkan adalah komposisi juri Nobel itu sendiri. Selama bertahun-tahun, Akademi Swedia didominasi oleh laki-laki, yang secara tidak langsung bisa membentuk bias dalam cara mereka menilai karya sastra. Baru pada dekade-dekade terakhir keterwakilan perempuan di dalam Akademi meningkat, dan bersamaan dengan itu, jumlah penerima Nobel Sastra dari kalangan perempuan pun mulai bertambah.
Jika kita cermati data peraih nobel sastra dalam 10 tahun terakhir, komposisi penulis pria dan wanita sudah imbang. Bahkan sejak 2017, seakan ada pola pergantian yang tetap antara peraih nobel sastra pria dan wanita. Dimulai dari novelis laki-laki, Kazuo Ishiguro (2017) dan ditutup oleh novelis perempuan, Han Kang (2024). Boleh jadi nobel sastra 2025 akan jatuh pada penulis laki-laki, jika mengacu pada pola ini.
Tapi apakah ini cukup untuk mengoreksi ketimpangan sejarah? Tidak serta-merta. Nobel Sastra bukan hanya penghargaan, tetapi juga simbol dari bagaimana dunia sastra melihat dirinya sendiri. Jika dominasi penyair laki-laki masih terus bertahan, maka pertanyaan yang harus diajukan bukan hanya soal siapa yang pantas menang, tetapi juga bagaimana cara kita mendefinisikan kehebatan dalam sastra.
Pada akhirnya, Nobel Sastra seharusnya tidak sekadar mencerminkan siapa yang menulis karya terbaik, tetapi juga keberagaman suara yang ada di dalam dunia literatur. Karena pada dasarnya, sastra adalah cerminan dari pengalaman manusia dalam segala kompleksitasnya. Jika kita terus mengabaikan sebagian besar dari pengalaman itu hanya karena penulisnya adalah perempuan, bukankah kita sedang kehilangan separuh dari dunia yang ingin kita pahami? (Nila Hapsari)

